Manusia menurut Aristoteles
Aristoteles
adalah filosof Yunani pertama yang menulis sebuah “etika”. Tulisan dengan
tujuan agar manusia belajar untuk hidup secara bijaksana. Gagasan dasar
Aristoteles adalah bahwa manusia hidup dengan bijaksana semakin ia
mengembangkan diri secara utuh. Menunjuk jalan bagaimana manusia dapat menjadi
utuh itulah maksud Aristoteles. Aristoteles menulis etikanya agar mereka yang
membacanya dapat membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia. Dan itu
dicapai dengan memperlihatkan bagaimana manusia dapat mengembangkan diri, dapat
membuat potensi-potensinya menjadi nyata, dan bagaimana karena itu ia menjadi
pribadi yang kuat. Menjadi pribadi yang kuat berarti berhasil dalam kehidupan
sebagai manusia. Itulah yang membuat kita bahagia dan itulah yang mau
ditunjukkan oleh Aristoteles.
Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah hewan berakal
sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal
pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang berpolitik
(zoon politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat,
mempunyai kampung halaman dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai
bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam
masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus
dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan
suatu cita keadilan.
Aristoteles
juga menyebutkan tetang istilah zoon politicon. Dengan istilah tersebut,
aristoteles menyebut bahwa manusia tak berbeda dengan hewan jika hanya hidup
indvidu, makan, minum,berhubungan seksual, serta menghasilkan keturunan. Jika hanya
seperti itu, manusia dengan hewan sama saja. Namun ternyata ada perbedaan,
yaitu manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi antar sesame untuk
menjadikan kehidupan di dunia lebih harmonis.
Satu factor
yang menjadikan manusia menjadi zoon politicon adalah akal sehat dan
intelegensia yang dimilikinya. Keduanya menjadi anugerah dari tuhan atas
penciptaan salah satu makhluknya yang
paling sempurna daripada yang lain. Oleh karena itu, perbedaan ini menjadi
dasar bagi tiap manusia untuk dapat menjadi individu yang lebih baik dari waktu
ke waktu. Sesuatu yang menjadikan manusia lebih baik itu adalah menjadi sosok
zoon politicon.
Zoon politicon
sendiri berasal dari dua kata, zoon yang berarti hewan dan politicon yang
artinya bermasyarakat. Secara harfiah, zoon politicon diartikan sebagai hewan
yang bermasyarakat. Aristoteles memang sengaja menyebut manusia dalam hal ini
sebagai hewan agar dapat dimengerti perbedaan selanjutnya antara manusia dengan
hewan.
Sudah
sedikit dibahas diatas bahwa manusia diciptakan dan dikodratkan hidup di dunia
bukan hanya menjadi makhluk individu. Lebih dari itu, manusia dapat menjadi
makhluk sosial. Disebut sebagai makhluk sosial karena manusia dapat saling
berkomunikasi, berinteraksi dan bekerja sama antara satu dengan yang lain dalam
mencapai tujuan tertentu. Oleh kerena itu aristoteles menyebutnya dengan
istilah zoon politicon.
Sebagai
makhluk sosial, tentu saja manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya,
manusia hidup bersama orang lain yang mungkin menjadi saudaranya, temannya,
rekan kerjanya, tetangganya atau yang lainnya. Ibaratnya, manusia tidak hidup
ditengah hutan sendirian. Tidak ada orang lain dikanan kirinya, sehingga apa
saja dilakukan sendiri. Manusia tidak bisa hidup seperti itu karena setiap orang
tentu membutuhkan bantuan dalam hidupnya.
Aristoteles (dalam Anshari, 1982, p. 5) mengidentifikasi
sejumlah kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh hewan; menusia berakal,
berbicara, berpolitik, berkeluarga, bermasyarakat. Kemampuan berpolitik
dimungkinkan karena manusia mempunyai bahasa yang di dalamnya dapat diungkap
simbol-simbol. Cara yang sama memahami manusia dilakukan oleh William Ernest
Hichking dengan menyetakan, “Manusia adalah hewan yang ketawa. Manusia adalah
hewan yang menggambarkan lukisan. Manusia adalah hewan yang sadar diri. Manusia
adalah hewan yang dapat merasa malu, sementara tidak ada makhluk lain yang
memperhatikan tanda-tanda pembelaan untuk protes naturalnya”.
Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia pasti memiliki tujuan, sebuah
nilai. Ada dua macam tujuan: tujuan sementara dan tujuan akhir.
Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Tujuan akhir adalah
tujuan yang tidak kita cari demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri,
tujuan yang kalau tercapai, mestinya tidak ada lagi yang masih diminati
selebihnya. Jawaban yang diberikan Aristoteles untuk tujuan akhir ini menjadi
sangat berarti dalam sejarah etika selanjutnya, yaitu: Kebahagiaan! Kalau
seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih dinginkan selebihnya. Maka
pertanyaan kunci adalah: Hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?
Dua pengertian paling penting adalah bahwa hidup secara moral membuat manusia
bahagia, dan bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dengan malas-malas hanya ingin
menikmati segala hal enak, melainkan dengan secara aktif mengembangkan diri
dalam dimensi yang hakiki bagi manusia. Adalah jasa Aristoteles bahwa ia
memperlihatkan bahwa hidup yang bermakna itu justru membuat bahagia.
Aristoteles juga memperlihatkan kearah mana kita harus berusaha. Arah itu
adalah kemanusiaan kita, pewujudnyataan ciri-ciri yang khas bagi manusia. Ciri
yang pertama adalah logos, roh, bagian ilahi dalam manusia, dimensi doa,
dimensi dimana manusia boleh berkomunikasi dengan Allah. Dimensi kedua adalah
masyarakat. Aristoteles begitu menekankan ciri sosial manusia. Manusia adalah zoon
politikon, mahluk bermasyarakat. Manusia tidak mungkin mencapai kepuasan
sendirian. Ia menjadi diri dalam kebersamaan dengan manusia lain, dimana ia
baik menerima maupun memberikan. Hanya dengan melibatkan diri dengan
masyarakat-keluarga, kampung, dan komunitas politik- manusia menjadi diri
sendiri. Dalam memberi dan menerima, dalam membangun kehidupan bersama itulah
jalan ke kebahagiaan.
Salah satu unsur utama ajaran Aristoteles adalah tekanan pada keutamaan. Watak
moral seseorang ditentukan oleh keutamaan yang dimilikinya. Memiliki keutamaan
berarti mantap dengan dirinya sendiri karena ia mantap dalam memilih apa yang
betul-betul bernilai daripada apa yang sekedar merangsang. Dan keutamaan dapat
kita usahakan. Dengan tegas bertindak menurut apa yang kita sadari benar, kita
menjadi semakin mampu untuk bertindak demikian, kita semakin gampang bertindak
etis; dan bertindak etis memberi rasa kuat dan bahagia.
Wujud etika Aristoteles menjadi jelas dalam Etika Nikomacheia yang
membahas persahabatan. Disini Aristoteles memberi pesan yang menentukan:
Manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri,
melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Manusia tidak mencapai
kebahagiaan dan keluhurannya dengan mau memiliki sesuatu, melainkan dengan
mengerahkan diri pada usaha bersama: bagi sahabat, desa, dan masyarakatnya.
Adalah lebih luhur mati bagi sahabat dari pada hidup, tetapi meninggalkannya.
Aristoteles mendekati kebijakan yang ada baik pada Yesus maupun pada etika
Jawa. Yesus mengatakan bahwa siapa kehilangan nyawanya demi yang paling luhur,
akan memperolehnya, dan pepatah Jawa mengatakan bahwa mati ditengah kehidupan
menghasilkan hidup ditengah kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar