Senin, 26 Desember 2016

manusia menurut aristoteles

 Manusia menurut Aristoteles

Aristoteles adalah filosof Yunani pertama yang menulis sebuah “etika”. Tulisan dengan tujuan agar manusia belajar untuk hidup secara bijaksana. Gagasan dasar Aristoteles adalah bahwa manusia hidup dengan bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh. Menunjuk jalan bagaimana manusia dapat menjadi utuh itulah maksud Aristoteles. Aristoteles menulis etikanya agar mereka yang membacanya dapat membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia. Dan itu dicapai dengan memperlihatkan bagaimana manusia dapat mengembangkan diri, dapat membuat potensi-potensinya menjadi nyata, dan bagaimana karena itu ia menjadi pribadi yang kuat. Menjadi pribadi yang kuat berarti berhasil dalam kehidupan sebagai manusia. Itulah yang membuat kita bahagia dan itulah yang mau ditunjukkan oleh Aristoteles.
Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang berpolitik (zoon politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat, mempunyai kampung halaman dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Aristoteles juga menyebutkan tetang istilah zoon politicon. Dengan istilah tersebut, aristoteles menyebut bahwa manusia tak berbeda dengan hewan jika hanya hidup indvidu, makan, minum,berhubungan seksual, serta menghasilkan keturunan. Jika hanya seperti itu, manusia dengan hewan sama saja. Namun ternyata ada perbedaan, yaitu manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi antar sesame untuk menjadikan kehidupan di dunia lebih harmonis.
Satu factor yang menjadikan manusia menjadi zoon politicon adalah akal sehat dan intelegensia yang dimilikinya. Keduanya menjadi anugerah dari tuhan atas penciptaan salah satu  makhluknya yang paling sempurna daripada yang lain. Oleh karena itu, perbedaan ini menjadi dasar bagi tiap manusia untuk dapat menjadi individu yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sesuatu yang menjadikan manusia lebih baik itu adalah menjadi sosok zoon politicon.
Zoon politicon sendiri berasal dari dua kata, zoon yang berarti hewan dan politicon yang artinya bermasyarakat. Secara harfiah, zoon politicon diartikan sebagai hewan yang bermasyarakat. Aristoteles memang sengaja menyebut manusia dalam hal ini sebagai hewan agar dapat dimengerti perbedaan selanjutnya antara manusia dengan hewan.
Sudah sedikit dibahas diatas bahwa manusia diciptakan dan dikodratkan hidup di dunia bukan hanya menjadi makhluk individu. Lebih dari itu, manusia dapat menjadi makhluk sosial. Disebut sebagai makhluk sosial karena manusia dapat saling berkomunikasi, berinteraksi dan bekerja sama antara satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan tertentu. Oleh kerena itu aristoteles menyebutnya dengan istilah zoon politicon.
Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam kenyataannya, manusia hidup bersama orang lain yang mungkin menjadi saudaranya, temannya, rekan kerjanya, tetangganya atau yang lainnya. Ibaratnya, manusia tidak hidup ditengah hutan sendirian. Tidak ada orang lain dikanan kirinya, sehingga apa saja dilakukan sendiri. Manusia tidak bisa hidup seperti itu karena setiap orang tentu membutuhkan bantuan dalam hidupnya.

Aristoteles (dalam Anshari, 1982, p. 5) mengidentifikasi sejumlah kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh hewan; menusia berakal, berbicara, berpolitik, berkeluarga, bermasyarakat. Kemampuan berpolitik dimungkinkan karena manusia mempunyai bahasa yang di dalamnya dapat diungkap simbol-simbol. Cara yang sama memahami manusia dilakukan oleh William Ernest Hichking dengan menyetakan, “Manusia adalah hewan yang ketawa. Manusia adalah hewan yang menggambarkan lukisan. Manusia adalah hewan yang sadar diri. Manusia adalah hewan yang dapat merasa malu, sementara tidak ada makhluk lain yang memperhatikan tanda-tanda pembelaan untuk protes naturalnya”.
        Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia pasti memiliki tujuan, sebuah nilai. Ada dua macam tujuan: tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Tujuan akhir adalah tujuan yang tidak kita cari demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri, tujuan yang kalau tercapai, mestinya tidak ada lagi yang masih diminati selebihnya. Jawaban yang diberikan Aristoteles untuk tujuan akhir ini menjadi sangat berarti dalam sejarah etika selanjutnya, yaitu: Kebahagiaan! Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih dinginkan selebihnya. Maka pertanyaan kunci adalah: Hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?
        Dua pengertian paling penting adalah bahwa hidup secara moral membuat manusia bahagia, dan bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dengan malas-malas hanya ingin menikmati segala hal enak, melainkan dengan secara aktif mengembangkan diri dalam dimensi yang hakiki bagi manusia. Adalah jasa Aristoteles bahwa ia memperlihatkan bahwa hidup yang bermakna itu justru membuat bahagia.
        Aristoteles juga memperlihatkan kearah mana kita harus berusaha. Arah itu adalah kemanusiaan kita, pewujudnyataan ciri-ciri yang khas bagi manusia. Ciri yang pertama adalah logos, roh, bagian ilahi dalam manusia, dimensi doa, dimensi dimana manusia boleh berkomunikasi dengan Allah. Dimensi kedua adalah masyarakat. Aristoteles begitu menekankan ciri sosial manusia. Manusia adalah zoon politikon, mahluk bermasyarakat. Manusia tidak mungkin mencapai kepuasan sendirian. Ia menjadi diri dalam kebersamaan dengan manusia lain, dimana ia baik menerima maupun memberikan. Hanya dengan melibatkan diri dengan masyarakat-keluarga, kampung, dan komunitas politik- manusia menjadi diri sendiri. Dalam memberi dan menerima, dalam membangun kehidupan bersama itulah jalan ke kebahagiaan.
        Salah satu unsur utama ajaran Aristoteles adalah tekanan pada keutamaan. Watak moral seseorang ditentukan oleh keutamaan yang dimilikinya. Memiliki keutamaan berarti mantap dengan dirinya sendiri karena ia mantap dalam memilih apa yang betul-betul bernilai daripada apa yang sekedar merangsang. Dan keutamaan dapat kita usahakan. Dengan tegas bertindak menurut apa yang kita sadari benar, kita menjadi semakin mampu untuk bertindak demikian, kita semakin gampang bertindak etis; dan bertindak etis memberi rasa kuat dan bahagia.
        Wujud etika Aristoteles menjadi jelas dalam Etika Nikomacheia yang membahas persahabatan. Disini Aristoteles memberi pesan yang menentukan: Manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Manusia tidak mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan mau memiliki sesuatu, melainkan dengan mengerahkan diri pada usaha bersama: bagi sahabat, desa, dan masyarakatnya. Adalah lebih luhur mati bagi sahabat dari pada hidup, tetapi meninggalkannya. Aristoteles mendekati kebijakan yang ada baik pada Yesus maupun pada etika Jawa. Yesus mengatakan bahwa siapa kehilangan nyawanya demi yang paling luhur, akan memperolehnya, dan pepatah Jawa mengatakan bahwa mati ditengah kehidupan menghasilkan hidup ditengah kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar